Senin, 20 Agustus 2007

Tan Malaka dan Buku



"...orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
(Rumah Kaca, 352)



Banyak tokoh zaman pergerakan adalah para pemikir serius dan penulis yang piawai. Mereka meninggalkan berbagai karya tulis yang bernas. Dalam sejarah pergerakan itu, adalah mustahil untuk tak menyebutkan nama Tan Malaka (1897-1949). Tokoh pergerakan revolusioner, pemikir, dan penulis yang karya-karyanya kerap dirujuk dan disebut-sebut. Ratusan jilid buku karyanya diselundupkan ke Hindia Belanda dan dibaca oleh tokoh-tokoh pergerakan termasuk pemuda Soekarno. Sebuah kesaksian pernah ditulis, perihal ketika W.R. Supratman hendak naik memainkan biola untuk lagu Indonesia Raya dalam kongres monumental dimana Sumpah Pemuda dicetuskan, Muhammad Yamin memperkenalkannya sebagai orang yang sudah membaca buku-bukunya Tan Malaka.

Dalam eseinya, Ignas Kleden menilai Tan Malaka sebagai pemikir yang menulis secara komprehensif perihal ideologi yang dianut dan dibelanya. Meski dalam kondisi sebagai buron agen intelijen berbagai negara kolonial, Tan Malaka tetap menulis suatu paham politik dan ideologi yang mesti dipertanggungjawabkan sampai ke dasar yang sedalam-dalamnya, diuji konsekuensi-konsekuensinya sampai batas terjauh. Itulah Madilog, magnum opus yang ia tulis dalam kondisi memprihatinkan, seperti yang ia ceritakan dalam bagian sejarah Madilog di bagian pengantar buku itu. “...sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi ‘pondok’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi.”


Aktivitas menulis barangkali merupakan suatu keistimewaan. Banyak orang bakal berpikir bahwa menulis –apalagi menulis buku– tentu butuh dukungan pustaka memadai, makan-minum terjamin, dan tubuh sehat walafiat. Tidaklah demikian dengan Tan Malaka, jauh dari kondisi sebagaimana prasangka tersebut, ia terus menuangkan gagasannya. “Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan Naar de Republiek Indonesia, Massa Aksi dan Semangat Muda. Semuanya perlu buat nasehat para pergerakan di Indonesia,” tulis Tan Malaka.


Ada satu sikap Tan Malaka yang mencerminkan kecendekiaannya, ia menjunjung tinggi kode etik akademik dalam soal mengutip pemikiran orang lain. Tentang hal ini, Tan Malaka mengaku, “Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.”


Pengakuan tersebut Tan Malaka sampaikan sehubungan dengan minimnya keterangan bahan rujukan yang ia tulis dalam Madilog. Hal itu karena kondisinya sebagai orang pelarian yang kerap pindah dari satu negara ke negara lain, sehingga sulitlah baginya membawa serta buku-buku yang telah dikumpulkan. Dalam Madilog, di bawah bagian tulisan tentang perpustakaan, Tan Malaka menceritakan pengalamannya mengumpulkan kemudian bercerai dengan buku-buku miliknya. “Ketika saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar.”

Kendati kemudian, ketika Tan Malaka meninggalkan negeri Belanda untuk mengawali petualangan lintas negara, ia mulai bercerai dengan koleksinya tersebut karena persoalan konflik politik antarnegara. “Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme.”

Dari negeri Stalin, Tan Malaka beranjak ke RRC. Di negeri Mao Tse Tung ini ia kembali menghimpun koleksinya. “...saya dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science, buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme...Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa.”


Tapi kemudian, lagi-lagi Tan Malaka mesti berpisah dengan buku-bukunya setelah mendekam dalam penjara di Hong Kong. “...saya terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka...pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut...putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti English Dictionary dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman.”


Tahun 1937, perang berkobar di kawasan Asia-Pasifik ketika Jepang menginvasi Cina, menandai dimulainya Perang Dunia II. Saat itu, Tan Malaka terjebak dalam kawasan pertempuran. “Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya lalilong alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”


Ironi

Sejatinya, Tan Malaka menulis guna mengubah pandangan dunia banyak komunitas di Indonesia yang berdasarkan kegaiban. Madilog merupakan sebuah kampanye anti-mistifikasi pandangan dunia yang jauh menghunjam dalam berbagai kelompok budaya Indonesia. Tapi tafsir publik atas Tan Malaka justru kebalikannya. Tan Malaka lebih dikenal sebagai tokoh misterius yang melegenda. Sosoknya lebih dikenal sebagaimana tokoh utama dalam roman populer Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona. Roman tersebut menceritakan perjuangan patriotik beberapa tokoh seperti Ivan Alminsky, Darsnoff, Semounoff terhadap kolonialisme/imperialisme. Nama-nama tersebut berasosiasi kuat pada nama-nama Alimin, Semaun, serta Darsono. Sedangkan tokoh utamanya Pacar Merah, mengacu pada Tan Malaka. Ia dikisahkan sebagai tokoh pergerakan yang sakti, mampu meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah tempat secara gaib.


Ironi paling besar ialah ketika nama Tan Malaka dicekal dari sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada masa Orde Baru, nama dan fotonya tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah. Masyarakat Indonesia dibuat lupa akan periode ketika kaum pergerakan dengan modal organisasi dan surat kabar menentang kolonial Belanda; pada masa suburnya pemikiran kritis dan cendekia.

Mengenang Tan Malaka, memang seperti membaca riwayat tragis. Ia ditembak oleh tentara republik pada tanggal 21 Februari 1949, di Desa Selo Panggung kawasan kaki Gunung Wilis Jawa Timur, justru ketika Tan Malaka sedang memimpin gerilya melawan Belanda yang melancarkan agresi kedua.

Berita terbaru, telah ditemukan tiga titik di Jawa Timur yang diduga sebagai lokasi makam Tan Malaka. Menteri Sosial Republik Indonesia pun sudah setuju mengerahkan tim forensik guna mencari sisa jenazah Tan Malaka. Kendati begitu, barangkali bukanlah pusara yang terpenting untuk mengenang Tan Malaka. Jauh lebih penting membaca kembali pemikiran-pemikirannya, menziarahi gagasan-gagasan Tan Malaka.

9 komentar:

radits mengatakan...

baca dulu bos ya...

Subhan mengatakan...

Ok Bos...salam kenal.

Kuliah di jurusan Ilmu Perpustakaan dan Informasi juga ya...salam kompak deh =)

Thanks dah mo liat-liat.

Ditunggu ya komen darimu.

Baru Klinting mengatakan...

cukup bagus isi blog-nya. sayang sampe sekarang saya belum beres2 baca madilog. perlu cukup waktu yang luang.
sip. selamat menulis.

Subhan mengatakan...

Halo Mas Harry, salam kenal.

Sepertinya memang butuh kesabaran yang besar untuk membaca Madilog hingga tuntas. Untuk tulisan ini, saya hanya "mencomot" bagian-bagian tertentu dari Madilog yang relevan dengan topik yang saya tulis, yakni tentang Tan Malaka dan Buku. Karena saya pustakawan, saya melihat Tan Malaka dari perspektif yang akrab dengan dunia saya: buku. Dan saya menemukan kisah yang sangat menarik, sekaligus getir, dalam kehidupan Tan Malaka terkait dengan buku.

Makasih dah mampir :-)

Unknown mengatakan...

Memang betul tan malaka pahlawan yang terlewatkan.

Babeh Tasyana mengatakan...

Wah kang subhan memang oke. Tulisannya ngalir enak dibaca. Saya salah satu penggemar berat tan malaka selain soekarno, he...2. Namun ada satu yang saya petik dan dijadikan pelajaran bagi saya sendiri yaitu kalau seseorang yang hidupnya selalu berpindah-pindah terlebih, referensi bukunya selalu tertinggal, masih bisa sempat menulis, kenapa kita yang sekarang di zaman yang serba mudah, kita tidak rajin menulis. Sungguh luar biasa Tan Malaka.

sangat benar sekali pernyataan ini:
"...orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." Karena seandainya saja Tan malaka tidak mengeluarkan buah pikirannya, mungkin dia hilang di telan zaman. Dan bisa jadi Kang subhan juga tidak bisa menulis tentang Tan Malaka, he....2

Subhan mengatakan...

Tan Malaka memang luar biasa.

Kadang saya juga kepikiran, seorang pahlawan memang teladan yang sangat ideal, tolok ukur yang sulit dicari padanannya. Itulah mengapa mereka menjadi orang pilihan, dengan segala konsekuensi, termasuk menjalani hidup yang berujung tragis.

Tan Malaka adalah Pahlawan Nasional Indonesia.

Nazrina mengatakan...

Woohoo... bagus Bung, tulisan ini... keren... :)

Aku baca Madilog dari dulu gak bisa bener2 paham... hehe...
Tapi setuju, Tan Malaka dengan segala pemikiran dan perjuangannya adalah salah satu 'orang besar' di Indonesia.

Subhan mengatakan...

Thanks Rina. Tan Malaka memang salah satu tokoh di Indonesia yang "besar" karena pemikirannya.