Senin, 20 Agustus 2007

Bung Sjahrir & Revolusi Indonesia



Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir




Kuartal ketiga 1945 adalah bulan-bulan penuh teror. Jakarta ramai desingan peluru baku tembak antara serdadu Nederlands Indies Civil Administration (NICA) dengan pejuang republik. Penduduk menutup pintu sejak senja hari.

Seorang Mayor berkebangsaan Amerika yang tergabung dalam pasukan sekutu ketika datang ke Jakarta waktu itu, menulis
:


...di jalan-jalan (Jakarta) mulai tampak barisan patroli Belanda dan Ambon (Serdadu KNIL) yang getol menembak. Mereka menembak segala yang tampak mencurigakan, dan bila tidak ada yang dapat dijadikan sasaran, mereka tidak segan-segan merampas rumah penduduk, dan tanpa tuduhan atau peringatan, menyeret keluar beberapa atau seluruh penghuninya...”


Kala itu, posisi Soekarno-Hatta terancam. NICA melakukan propaganda lewat radio dan menyebar pamflet berisi pengumuman bahwa para pemimpin republik adalah kolaborator Jepang yang berarti penjahat perang, maka akan ditangkap dan diadili. Republik Indonesia pun dianggap tidak sah karena negara bikinan Jepang sebagai alat melanjutkan perang.


Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis yang meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik
.


Di masa genting itu, Bung Sjahrir menulis
Perdjoangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perdjoangan Kita, disebut Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika, sebagai satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.


Perdjoangan Kita
muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Terbukti, pada November ’45 Sjahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri
.


Diplomasi Sjahrir

Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Sjahrir tidak berdaya apa-apa
.


Sjahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat pun mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk diarahkan secara benar, agar energi itu tak merusak
.


Sjahrir pun menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai
.


Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia (PD) II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan
.


Dengan siasat tersebut, revolusi nasional Indonesia tampil kepada dunia internasional sebagai perjuangan bangsa beradab dan demokratis di tengah kebangkitan bangsa-bangsa yang melepaskan diri dari kolonialisme pasca PD II
.


***


Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I s.d. III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Sjahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih
.


Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk Asia Tenggara mendesak Belanda agar berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, ini berarti pengakuan Sekutu atas eksistensi pemerintah RI
.


Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi congkak kolonial Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 14 Agustus 1947 Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. Berhadapan dengan wakil bangsa se-dunia, Sjahrir mengurai Indonesia sebagai bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi kaum kolonial. Secara piawai, Sjahrir mematahkan satu per satu argumen yang disampaikan wakil Belanda. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional
.


Di New York, Sjahrir populer bagi kalangan para wartawan yang meliput sidang DK PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai
The Smiling Diplomat.


Pemuda Sjahrir

Sjahrir lahir pada 5 Maret 1909 di ranah Minangkabau dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Seperti pemimpin pergerakan nasional lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van Deventer. Dia mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah (ELS dan MULO) terbaik di Medan, dan betah bergaul dengan pustaka dunia seperti karya-karya Karl May dan ratusan buku cerita Belanda
.


Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Sjahrir adalah bintang. Ia aktif dalam klub debat serta bergabung dalam klub teater sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Sjahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam lembaga pendidikan partikelir yang turut ia dirikan, Perguruan Rakyat Cahya (
Tjahja Volkuniversiteit). Sjahrir bersama teman-temannya mengadakan pentas teater yang diminati kalangan berkebangsaan Belanda, hasil pentas tersebut mereka gunakan untuk mendanai kegiatan di Tjahja Volkuniversiteit.


Aksi sosial Sjahrir berubah menjadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie
.


Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928
.


Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah
.


***


Sjahrir melanjutkan pendidikan ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, ia menggembleng diri berkutat dengan teori dan praktek sosialisme
.


Temannya seorang aktivis klub mahasiswa sosialis berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif –saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Sjahrir bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Sjahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang kala itu dipimpin Mohammad Hatta
.


Penghujung tahun 1931, Sjahrir meninggalkan kampusnya kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Sjahrir terjun dalam pergerakan buruh. Mei 1933, Sjahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia
.


Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya
.


Karena itulah, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan penuh nyamuk malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun. Mereka bebas setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang
.


Gerakan Bawah Tanah

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang. Karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif
.


Sastra, tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Sjahrir, menulis
:

Di bawah kepemimpinan Sjahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel Jepang. Berita-berita tersebut ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari Jepang
.


Ketika memperoleh berita bahwa Jepang telah menyerah kalah, Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus, Sjahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat
.


Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pejabat militer Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang
.


Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus
.

Selanjutnya, mulai berkecamuklah badai revolusi nasional Indonesia.

2 komentar:

Nazrina mengatakan...

Aku suka kalimat ini:
"Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Sjahrir tidak berdaya apa-apa."

Dramatically clear :)

Subhan mengatakan...

Sebetulnya kalimat itu aku parafrasekan dari kalimat yang ditulis oleh Romo Mangun tentang Sjahrir. Aku suka sekali bagaimana Romo Mangun menulis tentang Sjahrir, mengingat beliau memang penulis karya sastra yang "dramatis", sekaligus "pengagum besar" Bung Kecil.