Kamis, 11 Desember 2008

Mengenal Natsir






Mohammad Natsir lahir di kampung Jembatan Berukir, Minangkabau, 100 tahun yang lampau, tepatnya 17 Juli 1908.






Pendidikan dini Natsir di sekolah dengan sistem Eropa (HIS) sekaligus di Madrasah Diniyah, lalu menyelesaikan MULO (setingkap SMP) di Padang, kemudian menamatkan AMS (setara SMA) Bandung.

Catatan nilai ujian Natsir selalu bagus, karena itulah ia kerap memperoleh beasiswa. Lulus AMS dengan nilai yang memuaskan, Natsir berhak memperoleh beasiswa kuliah ilmu hukum di Batavia atau ilmu ekonomi di Rotterdam; namun ia emoh.

Kendati hanya jebolan tiga jenjang sekolah, dasar dan menengah, Natsir bukanlah sebagaimana generasi yang Taufiq Ismail sebut dengan Generasi Nol Buku yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Generasi Natsir yang beruntung dapat bersekolah dasar sampai dengan SMA, menikmati pendidikan budaya baca buku dan menulis. Di Algemeene Middlebare School (AMS) itu, siswa wajib khatam 25 buku sastra dalam tiga tahun, buku-buku yang disediakan di perpustakaan sekolah. Siswa kemudian menulis mengenai buku-buku tersebut dan diujikan ketika naik kelas atau ujian akhir. Mereka diwajibkan menulis karangan sekali seminggu, yang berarti 36 karangan selama setahun, atau 108 karangan sepanjang masa sekolah menengah atas tersebut.

Buku yang 25 judul itu bukan dalam satu bahasa, tapi dalam empat bahasa, yakni Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis. Untuk Natsir, satu tambahan bahasa lagi, yakni Arab yang sudah ia pelajari semasa di Minangkabau.

Generasi Natsir masuk dalam kurun generasi sebelum Perang Dunia II, yang adalah juga generasi Soekarno, Hatta, Muhammad Yamin, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Kasimo, dan seterusnya. Generasi yang dididik menjadi poliglot, pecandu buku, dan menulis dengan lancar tanpa canggung.

Guru Natsir
Ada tiga nama yang Natsir akui merekalah para guru yang mempengaruhi pemikirannya, yakni Agus Salim, Ahmad Hassan, dan Ahmad Sjoorkati. Di samping itu ia juga belajar dari HOS Tjokroaminoto dan A.M. Sangaji. Tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir.

Adalah A. Hassan yang cenderung menyuruh Natsir mencari sendiri jawaban akan keingintahuannya. Tidak sebagaimana kiai atau ulama tradisional yang menjejalkan ilmu dan tak mau dibantah. Hassan bersama beberapa pendiri Persatuan Islam (Persis) memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang sikap taklid terhadap pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas mazhab yang membelenggu. Bahkan Hassan tak segan mengubah pendapat jika muridnya mendapati dalil yang lebih sahih.

Sejak dan oleh karena kenal, kagum, serta berdiskusi dengan Hassan pula; Natsir kepincut lagi mempelajari dan mendalami Islam. Agama sekaligus ideologi yang dengan erat ia anut. Terhitung sejak lulus AMS, yang berarti pada usia belasan, usia belia, Natsir sudah menceburkan diri dalam salah satu arus pergerakan kala itu, Islam. Natsir mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang mengawinkan kurikulum pendidikan sekolah model Eropa dengan pelajaran ala pesantren dan madrasah. Mulailah masa Natsir sebagai guru, pemikir, dan penulis yang piawai dalam berpolemik.

Tumpasnya gerakan komunis akibat putch pada 1926, menyisakan dua arus pergerakan dengan bendera Nasionalis dan Islam. Ketika gerakan nasionalis dengan Soekarno yang tenar sebagai pemimpin besarnya mengalami masa pasang naik, muncul polemik lantaran kelompok Nasionalis dianggap gemar mencemooh kelompok Islam. Natsir pun angkat pena. Dengan inisial AM alias A. Moechlis, Natsir aktif menulis masalah politik, kebangsaan, dan Islam yang lebih luas di majalah Pembela Islam.

Pengabdi Republik
“Hij is de man,” tukas Bung Karno ketika Perdana Menteri Sjahrir mengusulkan Natsir sebagai Menteri Penerangan. Dapat ditebak, justru lantaran kepiawaian Natsir berpolemik dengannya di media massa yang meyakinkan Soekarno bahwa Natsir adalah orang yang tepat.

Karena Natsir, taktik licik Van Mook yang hendak memecah belah Indonesia jadi negara-negara boneka pun gagal. Gerilya lobi Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi mengantarnya tampil membacakan mosi yang diteken oleh 11 fraksi di parlemen. Itulah Mosi Integral Natsir yang selanjutnya melahirkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1950.

Natsir pernah mencengangkan bagi George McTurnan Kahin, Indonesianis yang bersimpati pada revolusi kemerdekaan Indonesia, karena penampilan bersahaja Natsir sebagai menteri dengan jas bertambal. Natsir pernah menolak hadiah mobil sedan baru untuk mengganti mobil lamanya yang sudah kusam. Usai mengembalikan mandatnya sebagai Perdana Menteri, ia meninggalkan mobil dinasnya kemudian membonceng sepeda bersama sopirnya meninggalkan Istana Negara. Betul-betul jauh dari sikap pejabat sekarang yang menjadikan pelataran kantornya sebagai ajang parkir mobil-mobil mentereng.