”Bayangkanlah Tuan, pergerakan seperti SI dapat dipengaruhi oleh seorang seperti DD. Bahaya yang akan ditimbulkan dan tidak dapat dilihat dari luar lebih besar. Pimpinan cabang-cabang SI dipegang oleh intelektual muda yang dipengaruhi secara pribadi oleh DD. Bagi kepentingan gerakan yang besar itu, saya terpaksa mengambil tindakan…”
Begitulah kekhawatiran Gubernur Jenderal Idenburg dalam suratnya kepada salah seorang anggota dewan di negeri Belanda. Sebegitu berbahayanya seorang Douwes Dekker (DD) bagi Idenburg, sehingga pejabat tertinggi bak dewa di tanah jajahan itu merasa perlu memakai hak luar biasa, exorbitante rechten, menghukum tangkap-buang seseorang yang dianggap mengancam rust en orde.
Pemicu tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut ialah terbitnya artikel “Als Ik een Nederlander was” oleh Suwardi Suryaningrat dalam koran De Expres yang dipimpin DD. Sebuah artikel legendaris yang semenjak kemunculannya itulah pemerintah kolonial mulai serius mencermati kritik-kritik terhadap mereka. Tohokan Suwardi pada pemerintah Hindia Belanda dilanjutkan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo yang menulis “Kekuatan atau Ketakutan”, kemudian dipungkas oleh DD yang menulis “Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat”. Maka lengkaplah alasan bagi pemerintah untuk menghukum tangkap-buang bagi tiga serangkai.
Pejabat Hindia Belanda melihat bahaya mengancam karena Suwardi dengan jelas menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi “penghubung” yang baik, yang dapat membawa gagasan Douwes Dekker yang subversif kepada kaum bumiputra.
Bagi kalangan kolonialis Belanda, Douwes Dekker dicap sebagai pembawa keonaran. Karena DD membawa gagasan-gagasan politik yang dapat menjadi pedoman bagi kaum bumiputra yang sedang mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia Belanda dalam suatu zaman yang Takashi Shiraishi sebut dengan zaman bergerak.
***
Mengenal Douwes Dekker, ada dua sisi yang penting diketahui, yakni pergulatannya dalam menentukan identitas kebangsaannya, yang berkonsekuensi pada pilihan gagasan politik yang ia genggam teguh dan perjuangkan. Dua sisi yang utuh menyatu dalam diri seorang Douwes Dekker sebagai salah satu tokoh peletak batu landasan pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia.
***
“…Hindia tidak berbangsa-ganda. Hindia berbangsa Hindia, bangsa Indisch,” ucap Douwager atau Edu, seorang tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam roman Jejak Langkah, sekuel ketiga dari Kuartet Buru yang hingga kini belum dicabut pelarangannya oleh Kejaksaan Agung. Melalui Jejak Langkah, Pramoedya bercerita perihal suatu masa di Hindia Belanda ketika gagasan politik dan perserikatan kaum bumiputra mulai tumbuh subur.
Dalam panggung sejarah itulah, tampil sosok orang berkulit putih yang membawa gagasan politik modern, perihal apa itu rapat raksasa, apa itu partai politik, bagaimana seharusnya seorang wartawan, apa itu pemogokan, dll. Dia adalah Ernest François Eugène Douwes Dekker yang lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Douwes Dekker juga memiliki darah Indonesia, yaitu dari nenek di pihak ibu, yang merupakan orang Jawa. Kendati dalam dirinya mengalir darah Eropa, DD tidak suka dengan sebutan Indo, sedangkan sebutan Europeaan ia anggap sebagai ejekan. Ketika DD berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Zurich, Swiss, dalam biodatanya DD tercatat sebagai “bangsa Jawa”.
DD masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yakni Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang merupakan adik kakeknya. Max Havelaar patut dicatat sebagai salah satu buku berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Buku itu menyentak kesadaran warga negara Belanda, karena membeberkan kesengsaraan penduduk Hindia Belanda akibat tanam paksa. Konon, Max Havelaar menjadi bacaan bagi orang-orang Belanda yang akan ditugaskan ke nusantara.
Sebagaimana kerabat tuanya, DD juga adalah seorang penulis ulung. DD adalah guru politik dan jurnalistik bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Karena kiprahnya dalam dunia jurnalistik, DD tak pernah absen disebut sebagai salah satu tokoh perintis pers negeri ini.
DD mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900-1902). Menarik dari pengalamannya, DD berkesimpulan bahwa pemerintah kolonial di mana pun akan melakukan diskriminasi rasial. Model diskriminasi itupun diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang membelah golongan masyarakat Hindia Belanda menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Dalam konstelasi tersebut, hadir masyarakat Indo. Umumnya mereka adalah keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda Totok dengan perempuan pribumi yang sebagian besar berstatus sebagai Nyai. Golongan Indo secara formal masuk dalam status Eropa dan mereka condong mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, ini berarti mereka mengingkari asalnya dari pihak ibu. Pilihan sikap tersebut menyebabkan mereka berjarak dengan kalangan pribumi. Di lain pihak, golongan totok tak mau disamakan dengan golongan Indo. Secara ekonomis, pendapatan golongan Indo di bawah Belanda Totok. Posisi tersebut berdampak pada status sosial-politis mereka. Golongan Indo kurang berperan bahkan sukar memainkan peranan kepemimpinan, karena keterbatasan akses pada kekuasaan, kekayaan, dan status.
DD dengan lantang menentang pembedaan itu dan ia secara tegas memilih status kebangsaan sebagai warga Hindia. Melalui koran De Expres, DD mengajak golongan Indo untuk tidal lagi menyebut diri sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku seorang Indo, aku berbangsa Indonesia!” seru DD.
Tak sebatas membaptis diri sebagai orang Indonesia, DD mendirikan Indische Partij (IP) pada tahun 1912, partai politik yang menghimpun semua golongan bangsa di Hindia Belanda, termasuk keturunan asing. Melalui kendaraan partai politik pertama di Hindia Belanda inilah DD sekaligus menjadi yang pertama mengajukan tuntutan merdeka dari negeri Belanda, dengan semboyan “Hindia untuk orang Hindia”.
DD membawa gagasan-gagasan politik modern ke Hindia Belanda. Dialah yang memperkenalkan apa itu partai politik dan bagaimana menjalankan kendaraan politik itu untuk menghimpun massa menjadi rapat raksasa. Pada 25 Desember 1912, IP mengadakan rapat raksasa pertama di Hindia Belanda. Peristiwa politik itulah yang menginspirasi munculnya rapat-rapat raksasa pada kemudian hari di Hindia Belanda, sebagaimana kemudian diadakan oleh Sarekat Islam pada Januari 1913, yang berhasil mengumpulkan sepuluh ribu orang dengan Tjokroaminoto sebagai motornya.
***
IP tidak berumur panjang, pemerintah Hindia Belanda tidak mengijinkan partai politik ini hidup lebih lama. Namun, tak berarti gagasan-gagasan politik yang diinisiasi DD turut mati. Sartono Kartodirdjo menulis bahwa para pemimpin pergerakan adalah akumulator ide-ide revolusioner. Dari merekalah massa rakyat mengenal konsep-konsep nasionalisme, demokrasi, humanisme, keadilan, dll. Gagasan perihal persatuan dari IP ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pergerakan dan partai-partai politik di kemudian hari. Gagasan persatuan tersebut menjadi salah satu unsur dalam manifesto yang diusung oleh Perhimpunan Indonesia (PI) yang kemudian menjadi rujukan bagi banyak kalangan pergerakan di Indonesia.
***
DD meninggal dunia di Bandung, pada 28 Agustus 1950. Dengan begitu, ia dapatlah dikatakan beruntung karena termasuk salah satu tokoh dari generasi pemula pergerakan nasional yang sempat melihat bangsanya merdeka, sebagaimana Suwardi Suryaningrat dan Haji Agus Salim. Serupa tapi tak sama dengan Suwardi Suryaningrat yang mengubah namanya, kemudian jadi lebih populer sebagai Ki Hadjar Dewantara; DD mengganti namanya menjadi Danudirdja Setiabudhi. Kendati demikian, ia tetaplah dikenang sebagai Douwes Dekker yang berkulit putih dan berkumis pirang.