Senin, 20 Agustus 2007

Jejak Pena Mohammad Hatta


Bung kita satu ini punya minat besar pada jurnalistik

Pada zamannya, peran sebagai jurnalis ibarat sisi pelengkap dari profil utuh seorang aktivis pergerakan. Nama-nama koran kaum pergerakan yang jamak kala itu seakan punya “marga” Bergerak, seperti: Doenia Bergerak, Goentoer Bergerak, Islam Bergerak, Ra’jat Bergerak. Atau, meminjam istilah Ignatius Haryanto, nama-nama koran di zaman itu seakan bermarga “terang” seperti: Suluh, Terang, Obor, Tjahaja, Menjala, Api Ra’jat.

Dalam zaman bergerak itulah Hatta turut terjun dalam medan perjuangan, menjadi jurnalis
.

***

Dia lahir pada 12 Agustus 1902, di kota kecil yang pernah menjadi pusat bagi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Bukittinggi. Benih semangat perlawanannya terhadap kolonialisme mengecambah di masa kanak-kanak. Kala ia melihat lambaian tangan sahabat kakeknya yang terbelenggu dari jendela kereta api. Rais ditawan karena mengirim surat kritik ke koran Utusan Melayu atas ulah tak senonoh pembesar Belanda di Minangkabau. “Belanda tidak dapat dipercaya,” bisik Idris, pamannya, kepada Hatta kecil.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Kesadaran politik Hatta makin berkembang seiring kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

***

Usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas bertolaklah ia ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta aktif menulis. Karangannya dalam majalah Jong Sumatera berjudul Namaku Hindania! Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran perihal beragam hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah cara memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan bakal mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lantas ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

***

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921, sebagai mahasiswa di kampus Handelshogeschool. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916.

Di Indische Vereeniging, medan pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme Belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Posisi itu seolah sudah disiapkan oleh aktivis Indische Vereeniging bagi Hatta, sebagaimana ucapan Nazir Pamuntjak padanya ketika Hatta baru beberapa minggu tiba di Belanda, “Engkau lekas menjadi anggota perkumpulan kita. Tidak itu saja, engkau harus menyiapkan diri untuk menjadi Bendahari Pengurus. Namamu sebagai Bendahari JSB sudah kesohor sampai kemari.”

Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Herman Kartawisastra. Momentum suksesi itu punya arti penting di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu, seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie. Sebagaimana diketahui kemudian pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Nederlandsch-Indie, tetapi Belanda menolak mosi itu.

Dalam momentum suksesi itu pula mereka berencana menerbitkan majalah sendiri. Soalnya ialah, apakah Indonesische Vereeniging menerbitkan majalah baru sama sekali atau meneruskan menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang dahulu diterbitkan oleh Indische Vereeniging tetapi kemudian diambil alih oleh Indonesisch Verbond. Kebanyakan anggota menginginkan agar nama Hindia Poetra kembali dipakai dengan alasan untuk mengambil kembali penerbitan itu dari Indonesische Verbond. Kendati demikian ada pula yang mengkritik mengapa nama Hindia kembali digunakan padahal mereka sudah berpendirian untuk menentang nama tersebut. Herman Kartawisastra angkat bicara bahwa nama Hindia Poetra perlu dipakai lagi untuk sementara saja untuk menegakkan kembali hak sejarah, hak mereka untuk mengelola majalah tersebut. Keputusannya, nama Hindia Poetra kembali dipakai.

Hindia Poetra produk Perhimpunan Indonesia nomor perdana terbit pada Januari 1923, dua bulan kemudian terbit edisi kedua. Dalam dua nomor tersebut, tulisan Hatta berisi kupasan perihal sewa tanah di pulau Jawa yang mana ada ketimpangan keuntungan antara perusahaan gula dengan para petani pemilik tanah. “Itulah permulaan aku membuat tulisan ilmiah,” tulis Hatta.

Artikel-artikel dalam Hindia Poetra terang-terangan bersikap non-kooperatif. Tulisan-tulisan itu, kata Hatta, bermutu tinggi berbeda sekali keadaannya waktu diasuh oleh Indonesisch Verbond. “Tidak heran, apabila sesudah terbit ada beberapa orang guru besar di Leiden menyangka bahwa tidak mungkin mahasiswa Indonesia saja yang menulis di dalamnya. Mereka bertanya antara mereka siapa orang Belanda yang membantu,” ungkap Hatta. Tahun 1924 Hindia Poetra berubah jadi Indonesia Merdeka.

Tidak ada komentar: