Kamis, 12 Maret 2009

Sang Indo yang Nasionalis














”Bayangkanlah Tuan, pergerakan seperti SI dapat dipengaruhi oleh seorang seperti DD. Bahaya yang akan ditimbulkan dan tidak dapat dilihat dari luar lebih besar. Pimpinan cabang-cabang SI dipegang oleh intelektual muda yang dipengaruhi secara pribadi oleh DD. Bagi kepentingan gerakan yang besar itu, saya terpaksa mengambil tindakan…”


Begitulah kekhawatiran Gubernur Jenderal Idenburg dalam suratnya kepada salah seorang anggota dewan di negeri Belanda. Sebegitu berbahayanya seorang Douwes Dekker (DD) bagi Idenburg, sehingga pejabat tertinggi bak dewa di tanah jajahan itu merasa perlu memakai hak luar biasa, exorbitante rechten, menghukum tangkap-buang seseorang yang dianggap mengancam rust en orde.

Pemicu tindakan pemerintah Hindia Belanda tersebut ialah terbitnya artikel “Als Ik een Nederlander was” oleh Suwardi Suryaningrat dalam koran De Expres yang dipimpin DD. Sebuah artikel legendaris yang semenjak kemunculannya itulah pemerintah kolonial mulai serius mencermati kritik-kritik terhadap mereka. Tohokan Suwardi pada pemerintah Hindia Belanda dilanjutkan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo yang menulis “Kekuatan atau Ketakutan”, kemudian dipungkas oleh DD yang menulis “Pahlawan Kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat”. Maka lengkaplah alasan bagi pemerintah untuk menghukum tangkap-buang bagi tiga serangkai.

Pejabat Hindia Belanda melihat bahaya mengancam karena Suwardi dengan jelas menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi “penghubung” yang baik, yang dapat membawa gagasan Douwes Dekker yang subversif kepada kaum bumiputra.

Bagi kalangan kolonialis Belanda, Douwes Dekker dicap sebagai pembawa keonaran. Karena DD membawa gagasan-gagasan politik yang dapat menjadi pedoman bagi kaum bumiputra yang sedang mencari bentuk untuk menampilkan kesadaran politik mereka yang baru, menggerakkan pikiran dan gagasan, dan menghadapi kenyataan di Hindia Belanda dalam suatu zaman yang Takashi Shiraishi sebut dengan zaman bergerak.

***

Mengenal Douwes Dekker, ada dua sisi yang penting diketahui, yakni pergulatannya dalam menentukan identitas kebangsaannya, yang berkonsekuensi pada pilihan gagasan politik yang ia genggam teguh dan perjuangkan. Dua sisi yang utuh menyatu dalam diri seorang Douwes Dekker sebagai salah satu tokoh peletak batu landasan pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia.

***

“…Hindia tidak berbangsa-ganda. Hindia berbangsa Hindia, bangsa Indisch,” ucap Douwager atau Edu, seorang tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam roman Jejak Langkah, sekuel ketiga dari Kuartet Buru yang hingga kini belum dicabut pelarangannya oleh Kejaksaan Agung. Melalui Jejak Langkah, Pramoedya bercerita perihal suatu masa di Hindia Belanda ketika gagasan politik dan perserikatan kaum bumiputra mulai tumbuh subur.

Dalam panggung sejarah itulah, tampil sosok orang berkulit putih yang membawa gagasan politik modern, perihal apa itu rapat raksasa, apa itu partai politik, bagaimana seharusnya seorang wartawan, apa itu pemogokan, dll. Dia adalah Ernest François Eugène Douwes Dekker yang lahir di Pasuruan, 8 Oktober 1879. Douwes Dekker juga memiliki darah Indonesia, yaitu dari nenek di pihak ibu, yang merupakan orang Jawa. Kendati dalam dirinya mengalir darah Eropa, DD tidak suka dengan sebutan Indo, sedangkan sebutan Europeaan ia anggap sebagai ejekan. Ketika DD berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Zurich, Swiss, dalam biodatanya DD tercatat sebagai “bangsa Jawa”.

DD masih terhitung saudara dari pengarang buku Max Havelaar, yakni Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang merupakan adik kakeknya. Max Havelaar patut dicatat sebagai salah satu buku berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Buku itu menyentak kesadaran warga negara Belanda, karena membeberkan kesengsaraan penduduk Hindia Belanda akibat tanam paksa. Konon, Max Havelaar menjadi bacaan bagi orang-orang Belanda yang akan ditugaskan ke nusantara.

Sebagaimana kerabat tuanya, DD juga adalah seorang penulis ulung. DD adalah guru politik dan jurnalistik bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Karena kiprahnya dalam dunia jurnalistik, DD tak pernah absen disebut sebagai salah satu tokoh perintis pers negeri ini.

DD mulai sadar dengan nasionalisme dan kemanusiaan setelah mendapat pengalaman dalam Perang Boer di Afrika Selatan (1900-1902). Menarik dari pengalamannya, DD berkesimpulan bahwa pemerintah kolonial di mana pun akan melakukan diskriminasi rasial. Model diskriminasi itupun diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda yang membelah golongan masyarakat Hindia Belanda menjadi Golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputra. Dalam konstelasi tersebut, hadir masyarakat Indo. Umumnya mereka adalah keturunan dari perkawinan campuran antara Belanda Totok dengan perempuan pribumi yang sebagian besar berstatus sebagai Nyai. Golongan Indo secara formal masuk dalam status Eropa dan mereka condong mengidentifikasi diri dengan pihak Eropa, ini berarti mereka mengingkari asalnya dari pihak ibu. Pilihan sikap tersebut menyebabkan mereka berjarak dengan kalangan pribumi. Di lain pihak, golongan totok tak mau disamakan dengan golongan Indo. Secara ekonomis, pendapatan golongan Indo di bawah Belanda Totok. Posisi tersebut berdampak pada status sosial-politis mereka. Golongan Indo kurang berperan bahkan sukar memainkan peranan kepemimpinan, karena keterbatasan akses pada kekuasaan, kekayaan, dan status.

DD dengan lantang menentang pembedaan itu dan ia secara tegas memilih status kebangsaan sebagai warga Hindia. Melalui koran De Expres, DD mengajak golongan Indo untuk tidal lagi menyebut diri sebagai orang Eropa. “Ik ben Indisch, Ik ben Indonesier! Aku seorang Indo, aku berbangsa Indonesia!” seru DD.

Tak sebatas membaptis diri sebagai orang Indonesia, DD mendirikan Indische Partij (IP) pada tahun 1912, partai politik yang menghimpun semua golongan bangsa di Hindia Belanda, termasuk keturunan asing. Melalui kendaraan partai politik pertama di Hindia Belanda inilah DD sekaligus menjadi yang pertama mengajukan tuntutan merdeka dari negeri Belanda, dengan semboyan “Hindia untuk orang Hindia”.

DD membawa gagasan-gagasan politik modern ke Hindia Belanda. Dialah yang memperkenalkan apa itu partai politik dan bagaimana menjalankan kendaraan politik itu untuk menghimpun massa menjadi rapat raksasa. Pada 25 Desember 1912, IP mengadakan rapat raksasa pertama di Hindia Belanda. Peristiwa politik itulah yang menginspirasi munculnya rapat-rapat raksasa pada kemudian hari di Hindia Belanda, sebagaimana kemudian diadakan oleh Sarekat Islam pada Januari 1913, yang berhasil mengumpulkan sepuluh ribu orang dengan Tjokroaminoto sebagai motornya.

***

IP tidak berumur panjang, pemerintah Hindia Belanda tidak mengijinkan partai politik ini hidup lebih lama. Namun, tak berarti gagasan-gagasan politik yang diinisiasi DD turut mati. Sartono Kartodirdjo menulis bahwa para pemimpin pergerakan adalah akumulator ide-ide revolusioner. Dari merekalah massa rakyat mengenal konsep-konsep nasionalisme, demokrasi, humanisme, keadilan, dll. Gagasan perihal persatuan dari IP ini kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pergerakan dan partai-partai politik di kemudian hari. Gagasan persatuan tersebut menjadi salah satu unsur dalam manifesto yang diusung oleh Perhimpunan Indonesia (PI) yang kemudian menjadi rujukan bagi banyak kalangan pergerakan di Indonesia.

***

DD meninggal dunia di Bandung, pada 28 Agustus 1950. Dengan begitu, ia dapatlah dikatakan beruntung karena termasuk salah satu tokoh dari generasi pemula pergerakan nasional yang sempat melihat bangsanya merdeka, sebagaimana Suwardi Suryaningrat dan Haji Agus Salim. Serupa tapi tak sama dengan Suwardi Suryaningrat yang mengubah namanya, kemudian jadi lebih populer sebagai Ki Hadjar Dewantara; DD mengganti namanya menjadi Danudirdja Setiabudhi. Kendati demikian, ia tetaplah dikenang sebagai Douwes Dekker yang berkulit putih dan berkumis pirang.


Kamis, 11 Desember 2008

Mengenal Natsir






Mohammad Natsir lahir di kampung Jembatan Berukir, Minangkabau, 100 tahun yang lampau, tepatnya 17 Juli 1908.






Pendidikan dini Natsir di sekolah dengan sistem Eropa (HIS) sekaligus di Madrasah Diniyah, lalu menyelesaikan MULO (setingkap SMP) di Padang, kemudian menamatkan AMS (setara SMA) Bandung.

Catatan nilai ujian Natsir selalu bagus, karena itulah ia kerap memperoleh beasiswa. Lulus AMS dengan nilai yang memuaskan, Natsir berhak memperoleh beasiswa kuliah ilmu hukum di Batavia atau ilmu ekonomi di Rotterdam; namun ia emoh.

Kendati hanya jebolan tiga jenjang sekolah, dasar dan menengah, Natsir bukanlah sebagaimana generasi yang Taufiq Ismail sebut dengan Generasi Nol Buku yang rabun membaca dan lumpuh menulis. Generasi Natsir yang beruntung dapat bersekolah dasar sampai dengan SMA, menikmati pendidikan budaya baca buku dan menulis. Di Algemeene Middlebare School (AMS) itu, siswa wajib khatam 25 buku sastra dalam tiga tahun, buku-buku yang disediakan di perpustakaan sekolah. Siswa kemudian menulis mengenai buku-buku tersebut dan diujikan ketika naik kelas atau ujian akhir. Mereka diwajibkan menulis karangan sekali seminggu, yang berarti 36 karangan selama setahun, atau 108 karangan sepanjang masa sekolah menengah atas tersebut.

Buku yang 25 judul itu bukan dalam satu bahasa, tapi dalam empat bahasa, yakni Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis. Untuk Natsir, satu tambahan bahasa lagi, yakni Arab yang sudah ia pelajari semasa di Minangkabau.

Generasi Natsir masuk dalam kurun generasi sebelum Perang Dunia II, yang adalah juga generasi Soekarno, Hatta, Muhammad Yamin, Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Wilopo, Kasimo, dan seterusnya. Generasi yang dididik menjadi poliglot, pecandu buku, dan menulis dengan lancar tanpa canggung.

Guru Natsir
Ada tiga nama yang Natsir akui merekalah para guru yang mempengaruhi pemikirannya, yakni Agus Salim, Ahmad Hassan, dan Ahmad Sjoorkati. Di samping itu ia juga belajar dari HOS Tjokroaminoto dan A.M. Sangaji. Tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir.

Adalah A. Hassan yang cenderung menyuruh Natsir mencari sendiri jawaban akan keingintahuannya. Tidak sebagaimana kiai atau ulama tradisional yang menjejalkan ilmu dan tak mau dibantah. Hassan bersama beberapa pendiri Persatuan Islam (Persis) memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang sikap taklid terhadap pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas mazhab yang membelenggu. Bahkan Hassan tak segan mengubah pendapat jika muridnya mendapati dalil yang lebih sahih.

Sejak dan oleh karena kenal, kagum, serta berdiskusi dengan Hassan pula; Natsir kepincut lagi mempelajari dan mendalami Islam. Agama sekaligus ideologi yang dengan erat ia anut. Terhitung sejak lulus AMS, yang berarti pada usia belasan, usia belia, Natsir sudah menceburkan diri dalam salah satu arus pergerakan kala itu, Islam. Natsir mendirikan sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang mengawinkan kurikulum pendidikan sekolah model Eropa dengan pelajaran ala pesantren dan madrasah. Mulailah masa Natsir sebagai guru, pemikir, dan penulis yang piawai dalam berpolemik.

Tumpasnya gerakan komunis akibat putch pada 1926, menyisakan dua arus pergerakan dengan bendera Nasionalis dan Islam. Ketika gerakan nasionalis dengan Soekarno yang tenar sebagai pemimpin besarnya mengalami masa pasang naik, muncul polemik lantaran kelompok Nasionalis dianggap gemar mencemooh kelompok Islam. Natsir pun angkat pena. Dengan inisial AM alias A. Moechlis, Natsir aktif menulis masalah politik, kebangsaan, dan Islam yang lebih luas di majalah Pembela Islam.

Pengabdi Republik
“Hij is de man,” tukas Bung Karno ketika Perdana Menteri Sjahrir mengusulkan Natsir sebagai Menteri Penerangan. Dapat ditebak, justru lantaran kepiawaian Natsir berpolemik dengannya di media massa yang meyakinkan Soekarno bahwa Natsir adalah orang yang tepat.

Karena Natsir, taktik licik Van Mook yang hendak memecah belah Indonesia jadi negara-negara boneka pun gagal. Gerilya lobi Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi mengantarnya tampil membacakan mosi yang diteken oleh 11 fraksi di parlemen. Itulah Mosi Integral Natsir yang selanjutnya melahirkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 1950.

Natsir pernah mencengangkan bagi George McTurnan Kahin, Indonesianis yang bersimpati pada revolusi kemerdekaan Indonesia, karena penampilan bersahaja Natsir sebagai menteri dengan jas bertambal. Natsir pernah menolak hadiah mobil sedan baru untuk mengganti mobil lamanya yang sudah kusam. Usai mengembalikan mandatnya sebagai Perdana Menteri, ia meninggalkan mobil dinasnya kemudian membonceng sepeda bersama sopirnya meninggalkan Istana Negara. Betul-betul jauh dari sikap pejabat sekarang yang menjadikan pelataran kantornya sebagai ajang parkir mobil-mobil mentereng.

Rabu, 22 Agustus 2007

Anak Bangsawan di "Ladang Tebu"



Judul : Anak Bangsawan Bertukar Jalan

Penulis : Budiawan

Penerbit : LKiS

Edisi : November 2006

Tebal : xiv + 248




Tepat di bawah tajuk nama surat kabar mingguan dan advertensi Medan Prijaji yang terbit semenjak 1907 hingga 1912, tercantum tulisan berikut:

Soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudaga Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di seloeroeh Hindia Olanda.

Daftar kelompok segmen pembaca tersebut memuat satu golongan sosial yang terbagi dua, yakni bangsawan asali dan bangsawan fikiran. Mengapa harus dibedakan demikian?

Identitas bangsawan merujuk suatu kelompok sosial terhormat yang diperoleh karena kepemilikan modal kultural. Untuk yang pertama, identitas itu diperoleh karena keturunan. Maka kelompok ini berada dalam lapisan sosial yang tertutup. Sedangkan bangsawan fikiran adalah mereka yang masuk dalam lapisan kelompok sosial terhormat karena modal kultural berupa pendidikan. Mereka adalah lulusan sekolah-sekolah yang dibuka pemerintah Kolonial Belanda guna menyiapkan calon tenaga kerja terdidik.

Taufik Abdullah mencatat, kedua istilah tersebut diperkenalkan oleh Abdul Rivai dalam majalah Bintang Hindia pada 1903. Rivai membedakan dua jenis bangsawan tersebut dan berpendapat bahwa kemajuan lebih mungkin digerakkan oleh para bangsawan fikiran, sebab merekalah menurutnya yang akan tampil sebagai kaum muda pelopor kemajuan.

Dua jenis bangsawan tersebut paralel dengan istilah priyayi birokrat dan priyayi profesional yang dipakai oleh Savitri P. Scherer dalam bukunya tentang kiprah priyayi nasionalis. Dalam hal pendidikan dan bidang kerja, kedua jenis priyayi ini dapat pula dibedakan. Priyayi birokrat lebih memilih sekolah calon ambtenar agar kemudian menjadi pejabat pemerintahan yang posisi tertingginya adalah bupati. Sedangkan mereka yang kemudian menjadi priyayi profesional menempuh pendidikan ilmu kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, ataupun hukum; hingga menjadikan mereka sebagai pekerja yang dekat dengan masyarakat. Sejarah mencatat, oleh kalangan profesional inilah pergerakan nasional Indonesia digulirkan. Seperti Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Sam Ratulangi, Sjahrir, dan Hatta.

Ada satu nama yang jarang disebut, yakni Suryopranoto. Ia “kalah” tenar dibanding sang adik, Suwardi Suryaningrat yang sempat bikin heboh karena artikelnya Als ik eens Nederlander was. Barangkali, Suryopranoto kurang dikenal karena sedikitnya catatan sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah tentang pergerakan buruh. Dalam pergerakan inilah Suryopranoto memperjuangkan hak-hak kaum kromo, sehingga kemudian memperoleh julukan Si Raja Mogok.

***

Anak Bangsawan Bertukar Jalan, adalah biografi yang ditulis dalam rambu-rambu akademis oleh Budiawan. Salah satu bukti keseriusan riset dokumentasi untuk penulisan buku ini ialah penggunaan sumber-sumber primer berupa surat kabar-surat kabar dan majalah terbitan 1909 s.d 1926 yang tentu butuh ketekunan ekstra untuk memilah dan membacanya. Buku ini merekam jejak-jejak pengalaman dan internalisasi nilai-nilai yang menjadikan Suryopranoto sebagai tokoh pergerakan buruh. Di dalamnya, termuat pula kutipan penuh sekaligus analisis isi “perang pena” antara Suryopranoto dengan Semaun (hal. 121-136); sebagai potret pertentangan prinsip perlawanan terhadap imperialisme pada masa tersebut. Menurut Budiawan, perselisihan antara Suryopranoto dan Semaun adalah sekuel dari konflik antarpaham yang kemudian memecah Sarekat Islam menjadi Kubu SI Putih dan SI Merah.

Suryopranoto memperoleh julukan Si Raja Mogok karena ia adalah pemimpin sebuah serikat buruh bernama Personeel Fabrieks Bond (PFB), serikat bagi para buruh perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula. PFB sangat diperhitungkan karena serikat buruh ini terdiri dari 190 cabang dengan 31 ribu orang anggota (hal. 104), yang menurut catatan Takashi Shiraishi hal ini menjadikan PFB sebagai serikat buruh yang paling besar dan militan di Hindia Belanda. Perlu diingat, pada masa itu gula tebu merupakan komoditas ekspor utama kolonial Belanda. Organisasi buruh inilah yang menjadi motor propaganda gelombang pemogokan buruh pabrik gula.

***

Figur Suryopranoto merupakan fenomena unik. Secara genealogis, Suryopranoto adalah bangsawan kelas atas. Ayahnya adalah putra sulung Paku Alam III, yang berarti Suryopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putera mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Dengan atribut keningratan tersebut Suryopranoto justru terjun ke tengah-tengah medan pergerakan kaum proletar, lantas menanggalkan gelar kebangsawanannya. Dalam sebuah rapat umum PFB, Suryopranoto diceritakan pernah mengacung-acungkan papan nama bertuliskan “R.M.” dan berkata, “Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil ini, saya tidak butuh.” Karena keunikan itulah Budiawan menahbiskan Suryopranoto sebagai anak bangsawan yang bertukar jalan.

Senin, 20 Agustus 2007

Bung Sjahrir & Revolusi Indonesia



Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Sjahrir




Kuartal ketiga 1945 adalah bulan-bulan penuh teror. Jakarta ramai desingan peluru baku tembak antara serdadu Nederlands Indies Civil Administration (NICA) dengan pejuang republik. Penduduk menutup pintu sejak senja hari.

Seorang Mayor berkebangsaan Amerika yang tergabung dalam pasukan sekutu ketika datang ke Jakarta waktu itu, menulis
:


...di jalan-jalan (Jakarta) mulai tampak barisan patroli Belanda dan Ambon (Serdadu KNIL) yang getol menembak. Mereka menembak segala yang tampak mencurigakan, dan bila tidak ada yang dapat dijadikan sasaran, mereka tidak segan-segan merampas rumah penduduk, dan tanpa tuduhan atau peringatan, menyeret keluar beberapa atau seluruh penghuninya...”


Kala itu, posisi Soekarno-Hatta terancam. NICA melakukan propaganda lewat radio dan menyebar pamflet berisi pengumuman bahwa para pemimpin republik adalah kolaborator Jepang yang berarti penjahat perang, maka akan ditangkap dan diadili. Republik Indonesia pun dianggap tidak sah karena negara bikinan Jepang sebagai alat melanjutkan perang.


Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya konsep dan langkah strategis yang meyakinkan guna mengendalikan kecamuk revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik
.


Di masa genting itu, Bung Sjahrir menulis
Perdjoangan Kita. Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perdjoangan Kita, disebut Ben Anderson, seorang Indonesianis asal Universitas Cornell, Amerika, sebagai satu-satunya usaha untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan yang memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.


Perdjoangan Kita
muncul menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.

Terbukti, pada November ’45 Sjahrir didukung pemuda dan ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Pada usia 36 tahun, mulailah lakon Sjahrir dalam panggung memperjuangkan kedaulatan Republik Indonesia, sebagai Perdana Menteri termuda di dunia, merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri
.


Diplomasi Sjahrir

Tanpa Sjahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Sjahrir tidak berdaya apa-apa
.


Sjahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui rakyat. Karena agitasinya yang menggelora, rakyat pun mendukung revolusi. Kendati demikian, kekuatan raksasa yang dihidupkan Soekarno harus dibendung untuk diarahkan secara benar, agar energi itu tak merusak
.


Sjahrir pun menjalankan siasatnya. Di pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang punya fungsi legislatif. RI pun menganut sistem multipartai
.


Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia (PD) II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada massa rakyat, Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan
.


Dengan siasat tersebut, revolusi nasional Indonesia tampil kepada dunia internasional sebagai perjuangan bangsa beradab dan demokratis di tengah kebangkitan bangsa-bangsa yang melepaskan diri dari kolonialisme pasca PD II
.


***


Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Sjahrir I s.d. III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi. Sjahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih
.


Diplomasinya kemudian berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu untuk Asia Tenggara mendesak Belanda agar berunding dengan pemerintah republik. Secara politik, ini berarti pengakuan Sekutu atas eksistensi pemerintah RI
.


Jalan berliku diplomasi diperkeruh dengan gempuran aksi militer Belanda pada 21 Juli 1947. Aksi congkak kolonial Belanda tersebut justru mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 14 Agustus 1947 Sjahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan (DK) PBB. Berhadapan dengan wakil bangsa se-dunia, Sjahrir mengurai Indonesia sebagai bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi kaum kolonial. Secara piawai, Sjahrir mematahkan satu per satu argumen yang disampaikan wakil Belanda. Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional
.


Di New York, Sjahrir populer bagi kalangan para wartawan yang meliput sidang DK PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Sjahrir sebagai
The Smiling Diplomat.


Pemuda Sjahrir

Sjahrir lahir pada 5 Maret 1909 di ranah Minangkabau dan meninggal 9 April 1966 di Zurich, Swiss. Seperti pemimpin pergerakan nasional lainnya, Sjahrir adalah buah dari politik etis van Deventer. Dia mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah (ELS dan MULO) terbaik di Medan, dan betah bergaul dengan pustaka dunia seperti karya-karya Karl May dan ratusan buku cerita Belanda
.


Di kalangan siswa sekolah menengah (AMS) Bandung, Sjahrir adalah bintang. Ia aktif dalam klub debat serta bergabung dalam klub teater sebagai sutradara, penulis skenario, dan aktor. Sjahrir juga berkecimpung dalam aksi pendidikan melek huruf secara gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu dalam lembaga pendidikan partikelir yang turut ia dirikan, Perguruan Rakyat Cahya (
Tjahja Volkuniversiteit). Sjahrir bersama teman-temannya mengadakan pentas teater yang diminati kalangan berkebangsaan Belanda, hasil pentas tersebut mereka gunakan untuk mendanai kegiatan di Tjahja Volkuniversiteit.


Aksi sosial Sjahrir berubah menjadi politis. Ketika para pemuda masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan kedaerahan, pada 20 Februari 1927, Sjahrir termasuk dalam sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, Jong Indonesie
.


Perhimpunan itu kemudian berubah nama jadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor penyelenggaraan Kongres Pemuda Indonesia. Kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928
.


Sebagai siswa sekolah menengah, Sjahrir sudah dikenal oleh polisi Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah himpunan pemuda nasionalis. Dalam kenangan seorang temannya di AMS, Sjahrir kerap lari digebah polisi karena membandel membaca koran yang memuat berita pemberontakan PKI 1926; koran yang ditempel pada papan dan selalu dijaga polisi agar tak dibaca para pelajar sekolah
.


***


Sjahrir melanjutkan pendidikan ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam, Leiden. Di sana, ia menggembleng diri berkutat dengan teori dan praktek sosialisme
.


Temannya seorang aktivis klub mahasiswa sosialis berkisah perihal Sjahrir yang mencari teman-teman radikal, berkelana kian jauh ke kiri, hingga ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme dengan bertahan hidup secara kolektif –saling berbagi satu sama lain kecuali sikat gigi. Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Sjahrir bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Sjahrir juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang kala itu dipimpin Mohammad Hatta
.


Penghujung tahun 1931, Sjahrir meninggalkan kampusnya kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Sjahrir segera bergabung dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), yang pada Juni 1932 diketuainya. Pengalaman mencemplungkan diri dalam dunia proletar ia praktekkan di tanah air. Sjahrir terjun dalam pergerakan buruh. Mei 1933, Sjahrir didaulat menjadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia
.


Bersama Hatta, Sjahrir mengemudikan PNI Baru sebagai organisasi pencetak kader-kader pergerakan. Berdasarkan analisis pemerintahan kolonial Belanda, gerakan politik Hatta dan Sjahrir dalam PNI Baru justru lebih radikal tinimbang Soekarno dengan PNI-nya yang mengandalkan mobilisasi massa. Meski tanpa aksi massa dan agitasi; secara cerdas, lamban namun pasti, PNI Baru mendidik kader-kader pergerakan yang siap bergerak ke arah tujuan revolusionernya
.


Karena itulah, pada Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, kemudian membuang Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ke Boven Digul. Hampir setahun dalam kawasan penuh nyamuk malaria di Papua itu, Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Banda Neira untuk menjalani masa pembuangan selama enam tahun. Mereka bebas setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jepang
.


Gerakan Bawah Tanah

Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis. Sjahrir yakin Jepang tak mungkin memenangkan perang. Karena itu, kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk merebut kemerdekaan di saat yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif
.


Sastra, tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan Sjahrir, menulis
:

Di bawah kepemimpinan Sjahrir, kami bergerak di bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”

Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang mulai terdesak oleh Sekutu. Sjahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri karena disegel Jepang. Berita-berita tersebut ia sampaikan ke Hatta. Sembari itu, Sjahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk merebut kekuasaan dari Jepang
.


Ketika memperoleh berita bahwa Jepang telah menyerah kalah, Sjahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus, Sjahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat
.


Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pejabat militer Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk Jepang
.


Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda, sebab berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan RI adalah bikinan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus
.

Selanjutnya, mulai berkecamuklah badai revolusi nasional Indonesia.

Jejak Pena Mohammad Hatta


Bung kita satu ini punya minat besar pada jurnalistik

Pada zamannya, peran sebagai jurnalis ibarat sisi pelengkap dari profil utuh seorang aktivis pergerakan. Nama-nama koran kaum pergerakan yang jamak kala itu seakan punya “marga” Bergerak, seperti: Doenia Bergerak, Goentoer Bergerak, Islam Bergerak, Ra’jat Bergerak. Atau, meminjam istilah Ignatius Haryanto, nama-nama koran di zaman itu seakan bermarga “terang” seperti: Suluh, Terang, Obor, Tjahaja, Menjala, Api Ra’jat.

Dalam zaman bergerak itulah Hatta turut terjun dalam medan perjuangan, menjadi jurnalis
.

***

Dia lahir pada 12 Agustus 1902, di kota kecil yang pernah menjadi pusat bagi Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Bukittinggi. Benih semangat perlawanannya terhadap kolonialisme mengecambah di masa kanak-kanak. Kala ia melihat lambaian tangan sahabat kakeknya yang terbelenggu dari jendela kereta api. Rais ditawan karena mengirim surat kritik ke koran Utusan Melayu atas ulah tak senonoh pembesar Belanda di Minangkabau. “Belanda tidak dapat dipercaya,” bisik Idris, pamannya, kepada Hatta kecil.

Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB) Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Kesadaran politik Hatta makin berkembang seiring kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-pertemuan politik. Tokoh politik yang menjadi idola Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya. Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

***

Usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah (MULO). Lantas bertolaklah ia ke Batavia untuk melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta aktif menulis. Karangannya dalam majalah Jong Sumatera berjudul Namaku Hindania! Berkisah perihal janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat, perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling kota, mereka bertukar pikiran perihal beragam hal mengenai tanah air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah cara memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka sempat ada pembagian pekerjaan. Bahder Djohan bakal mengutamakan perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa yang mengemparkan Eropa, Turki yang dipandang sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe) memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris. Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lantas ia tulis menjadi serial tulisan untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang mengutip tulisan-tulisan Hatta.

***

Hatta mulai menetap di Belanda semenjak September 1921, sebagai mahasiswa di kampus Handelshogeschool. Ia segera bergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging). Saat itu, telah tersedia iklim pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai 1916.

Di Indische Vereeniging, medan pergerakan putra Minangkabau ini tak lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula, nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan kesatuan wilayah, gugusan kepulauan di Nusantara yang secara politis diikat oleh sistem kolonialisme Belanda. Dari sanalah mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Posisi itu seolah sudah disiapkan oleh aktivis Indische Vereeniging bagi Hatta, sebagaimana ucapan Nazir Pamuntjak padanya ketika Hatta baru beberapa minggu tiba di Belanda, “Engkau lekas menjadi anggota perkumpulan kita. Tidak itu saja, engkau harus menyiapkan diri untuk menjadi Bendahari Pengurus. Namamu sebagai Bendahari JSB sudah kesohor sampai kemari.”

Penunjukkan itu berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh Herman Kartawisastra. Momentum suksesi itu punya arti penting di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka mengganti nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) dan kelanjutannya mengganti nama Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu, seorang anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau Nederland Indie. Sebagaimana diketahui kemudian pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Nederlandsch-Indie, tetapi Belanda menolak mosi itu.

Dalam momentum suksesi itu pula mereka berencana menerbitkan majalah sendiri. Soalnya ialah, apakah Indonesische Vereeniging menerbitkan majalah baru sama sekali atau meneruskan menerbitkan majalah Hindia Poetra, yang dahulu diterbitkan oleh Indische Vereeniging tetapi kemudian diambil alih oleh Indonesisch Verbond. Kebanyakan anggota menginginkan agar nama Hindia Poetra kembali dipakai dengan alasan untuk mengambil kembali penerbitan itu dari Indonesische Verbond. Kendati demikian ada pula yang mengkritik mengapa nama Hindia kembali digunakan padahal mereka sudah berpendirian untuk menentang nama tersebut. Herman Kartawisastra angkat bicara bahwa nama Hindia Poetra perlu dipakai lagi untuk sementara saja untuk menegakkan kembali hak sejarah, hak mereka untuk mengelola majalah tersebut. Keputusannya, nama Hindia Poetra kembali dipakai.

Hindia Poetra produk Perhimpunan Indonesia nomor perdana terbit pada Januari 1923, dua bulan kemudian terbit edisi kedua. Dalam dua nomor tersebut, tulisan Hatta berisi kupasan perihal sewa tanah di pulau Jawa yang mana ada ketimpangan keuntungan antara perusahaan gula dengan para petani pemilik tanah. “Itulah permulaan aku membuat tulisan ilmiah,” tulis Hatta.

Artikel-artikel dalam Hindia Poetra terang-terangan bersikap non-kooperatif. Tulisan-tulisan itu, kata Hatta, bermutu tinggi berbeda sekali keadaannya waktu diasuh oleh Indonesisch Verbond. “Tidak heran, apabila sesudah terbit ada beberapa orang guru besar di Leiden menyangka bahwa tidak mungkin mahasiswa Indonesia saja yang menulis di dalamnya. Mereka bertanya antara mereka siapa orang Belanda yang membantu,” ungkap Hatta. Tahun 1924 Hindia Poetra berubah jadi Indonesia Merdeka.

Tan Malaka dan Buku



"...orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
(Rumah Kaca, 352)



Banyak tokoh zaman pergerakan adalah para pemikir serius dan penulis yang piawai. Mereka meninggalkan berbagai karya tulis yang bernas. Dalam sejarah pergerakan itu, adalah mustahil untuk tak menyebutkan nama Tan Malaka (1897-1949). Tokoh pergerakan revolusioner, pemikir, dan penulis yang karya-karyanya kerap dirujuk dan disebut-sebut. Ratusan jilid buku karyanya diselundupkan ke Hindia Belanda dan dibaca oleh tokoh-tokoh pergerakan termasuk pemuda Soekarno. Sebuah kesaksian pernah ditulis, perihal ketika W.R. Supratman hendak naik memainkan biola untuk lagu Indonesia Raya dalam kongres monumental dimana Sumpah Pemuda dicetuskan, Muhammad Yamin memperkenalkannya sebagai orang yang sudah membaca buku-bukunya Tan Malaka.

Dalam eseinya, Ignas Kleden menilai Tan Malaka sebagai pemikir yang menulis secara komprehensif perihal ideologi yang dianut dan dibelanya. Meski dalam kondisi sebagai buron agen intelijen berbagai negara kolonial, Tan Malaka tetap menulis suatu paham politik dan ideologi yang mesti dipertanggungjawabkan sampai ke dasar yang sedalam-dalamnya, diuji konsekuensi-konsekuensinya sampai batas terjauh. Itulah Madilog, magnum opus yang ia tulis dalam kondisi memprihatinkan, seperti yang ia ceritakan dalam bagian sejarah Madilog di bagian pengantar buku itu. “...sang Polisi, Yuansa namanya diwaktu itu, sudah 2 kali datang memeriksa dan menggeledah rumah lebih tepat lagi ‘pondok’ tempat saya tinggal. Lantaran huruf madilog dan Gabungan Aslia terlampau kecil dan ditaruh di tempat yang tiada mengambil perhatian sama sekali, maka terlindung ia dari mata polisi.”


Aktivitas menulis barangkali merupakan suatu keistimewaan. Banyak orang bakal berpikir bahwa menulis –apalagi menulis buku– tentu butuh dukungan pustaka memadai, makan-minum terjamin, dan tubuh sehat walafiat. Tidaklah demikian dengan Tan Malaka, jauh dari kondisi sebagaimana prasangka tersebut, ia terus menuangkan gagasannya. “Walaupun dari tahun 1925-1935 otak saya seolah-olah lumpuh, karena kesehatan sangat terganggu, tetapi karena permintaan ramai ada keras, saya, dalam kesehatan dan keamanan hidup amat terganggu dan terpaksa saja lari kesana-sini, bisa juga mencetakkan Naar de Republiek Indonesia, Massa Aksi dan Semangat Muda. Semuanya perlu buat nasehat para pergerakan di Indonesia,” tulis Tan Malaka.


Ada satu sikap Tan Malaka yang mencerminkan kecendekiaannya, ia menjunjung tinggi kode etik akademik dalam soal mengutip pemikiran orang lain. Tentang hal ini, Tan Malaka mengaku, “Dengan ini saya mau singkirkan semua persangkaan bahwa buku Madilog ini semata-mata terbit dari otak saya sendiri. Sudah tentu seorang pengarang atau penulis manapun juga dan berapapun juga adalah murid dari pemikir lain dari dalam masyarakatnya sendiri atau masyarakat lain. Sedikitnya ia dipengaruhi oleh guru, kawan sepaham, bahkan oleh musuhnya sendiri.”


Pengakuan tersebut Tan Malaka sampaikan sehubungan dengan minimnya keterangan bahan rujukan yang ia tulis dalam Madilog. Hal itu karena kondisinya sebagai orang pelarian yang kerap pindah dari satu negara ke negara lain, sehingga sulitlah baginya membawa serta buku-buku yang telah dikumpulkan. Dalam Madilog, di bawah bagian tulisan tentang perpustakaan, Tan Malaka menceritakan pengalamannya mengumpulkan kemudian bercerai dengan buku-buku miliknya. “Ketika saya menjalankan pembuangan yang pertama, yaitu dari Indonesia, pada 22 Maret 1922, saya cukup diiringi oleh buku, walaupun tiada lebih dari satu peti besar.”

Kendati kemudian, ketika Tan Malaka meninggalkan negeri Belanda untuk mengawali petualangan lintas negara, ia mulai bercerai dengan koleksinya tersebut karena persoalan konflik politik antarnegara. “Pustaka yang begitu lama jadi kawan dan pendidik terpaksa saya tinggalkan di Nederland karena ketika saya pergi ke Moskow saya mesti melalui Polandia yang bermusuhan dengan Komunisme.”

Dari negeri Stalin, Tan Malaka beranjak ke RRC. Di negeri Mao Tse Tung ini ia kembali menghimpun koleksinya. “...saya dengan giat mengumpulkan buku-buku yang berhubung dengan ekonomi, politik, sejarah, ilmu pengetahuan, science, buku-buku baru yang berdasar sosialisme dan komunisme...Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan. Nafsu membeli buku baru, lebih-lebih yang berhubungan dengan ekonomi Asia, membikin kantong saya seperti boneka yang tiada berdaya apa-apa.”


Tapi kemudian, lagi-lagi Tan Malaka mesti berpisah dengan buku-bukunya setelah mendekam dalam penjara di Hong Kong. “...saya terlepas dari bahaya, tetapi juga terlepas dari pustaka...pustaka baru yang saya kumpulkan di Amoy dari tahun 1936 sampai 1937, juga sekarang terpendam disana, ketika tentara Jepang masuk pada tahun 1937. Malah dua tiga buku-buku peringatan yang penting sekali yang bahannya diperoleh dengan mata sendiri, ialah: catatan penting, buat buku-buku yang sekarang saya mau tulis, mesti saya lemparkan ke laut...putusan bercerai dengan dua buku catatan itu diambil dengan duka cita sekali. Tetapi putusan itu belakangan ternyata benar. Duanne Ranggoon memeriksa buku-buku saya yang masih ada dalam peti seperti English Dictionary dengan teliti sekali, malah kulitnya diselidiki betul-betul. Kantongpun tak aman.”


Tahun 1937, perang berkobar di kawasan Asia-Pasifik ketika Jepang menginvasi Cina, menandai dimulainya Perang Dunia II. Saat itu, Tan Malaka terjebak dalam kawasan pertempuran. “Di antaranya di kampung Wang Pan Cho saya dengan pustaka saya terpaku. Sesudah dua atau tiga hari tentara Jepang memberi izin kepada kampung tempat saya tinggal berpindah rumah, pergi ke tempat yang lebih aman dalam waktu 5 menit saja. Saya turut pindah tergopoh-gopoh. Tentulah pustaka saya mesti tinggal. Ketika saya kunjungi rumah saya sesudah habis perang yakni sesudah sebulan lamanya, maka sehelai kertaspun tak ada yang tinggal. Begitulah rapinya lalilong alias tukang copet bekerja. Hal ini tidak membikin saya putus asa. Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.”


Ironi

Sejatinya, Tan Malaka menulis guna mengubah pandangan dunia banyak komunitas di Indonesia yang berdasarkan kegaiban. Madilog merupakan sebuah kampanye anti-mistifikasi pandangan dunia yang jauh menghunjam dalam berbagai kelompok budaya Indonesia. Tapi tafsir publik atas Tan Malaka justru kebalikannya. Tan Malaka lebih dikenal sebagai tokoh misterius yang melegenda. Sosoknya lebih dikenal sebagaimana tokoh utama dalam roman populer Pacar Merah Indonesia karya Matu Mona. Roman tersebut menceritakan perjuangan patriotik beberapa tokoh seperti Ivan Alminsky, Darsnoff, Semounoff terhadap kolonialisme/imperialisme. Nama-nama tersebut berasosiasi kuat pada nama-nama Alimin, Semaun, serta Darsono. Sedangkan tokoh utamanya Pacar Merah, mengacu pada Tan Malaka. Ia dikisahkan sebagai tokoh pergerakan yang sakti, mampu meramal, berubah-ubah sosok, dan berpindah tempat secara gaib.


Ironi paling besar ialah ketika nama Tan Malaka dicekal dari sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pada masa Orde Baru, nama dan fotonya tidak ada dalam Buku Riwayat Hidup Pahlawan Nasional yang dipergunakan di sekolah. Masyarakat Indonesia dibuat lupa akan periode ketika kaum pergerakan dengan modal organisasi dan surat kabar menentang kolonial Belanda; pada masa suburnya pemikiran kritis dan cendekia.

Mengenang Tan Malaka, memang seperti membaca riwayat tragis. Ia ditembak oleh tentara republik pada tanggal 21 Februari 1949, di Desa Selo Panggung kawasan kaki Gunung Wilis Jawa Timur, justru ketika Tan Malaka sedang memimpin gerilya melawan Belanda yang melancarkan agresi kedua.

Berita terbaru, telah ditemukan tiga titik di Jawa Timur yang diduga sebagai lokasi makam Tan Malaka. Menteri Sosial Republik Indonesia pun sudah setuju mengerahkan tim forensik guna mencari sisa jenazah Tan Malaka. Kendati begitu, barangkali bukanlah pusara yang terpenting untuk mengenang Tan Malaka. Jauh lebih penting membaca kembali pemikiran-pemikirannya, menziarahi gagasan-gagasan Tan Malaka.