Rabu, 22 Agustus 2007

Anak Bangsawan di "Ladang Tebu"



Judul : Anak Bangsawan Bertukar Jalan

Penulis : Budiawan

Penerbit : LKiS

Edisi : November 2006

Tebal : xiv + 248




Tepat di bawah tajuk nama surat kabar mingguan dan advertensi Medan Prijaji yang terbit semenjak 1907 hingga 1912, tercantum tulisan berikut:

Soeara bagi sekalian Radja-radja, Bangsawan asali dan fikiran, Prijaji dan saudaga Boemipoetra dan officier-officier serta saudagar-saudagar dari bangsa jang terprentah laenja jang dipersamakan dengan Anaknegri, di seloeroeh Hindia Olanda.

Daftar kelompok segmen pembaca tersebut memuat satu golongan sosial yang terbagi dua, yakni bangsawan asali dan bangsawan fikiran. Mengapa harus dibedakan demikian?

Identitas bangsawan merujuk suatu kelompok sosial terhormat yang diperoleh karena kepemilikan modal kultural. Untuk yang pertama, identitas itu diperoleh karena keturunan. Maka kelompok ini berada dalam lapisan sosial yang tertutup. Sedangkan bangsawan fikiran adalah mereka yang masuk dalam lapisan kelompok sosial terhormat karena modal kultural berupa pendidikan. Mereka adalah lulusan sekolah-sekolah yang dibuka pemerintah Kolonial Belanda guna menyiapkan calon tenaga kerja terdidik.

Taufik Abdullah mencatat, kedua istilah tersebut diperkenalkan oleh Abdul Rivai dalam majalah Bintang Hindia pada 1903. Rivai membedakan dua jenis bangsawan tersebut dan berpendapat bahwa kemajuan lebih mungkin digerakkan oleh para bangsawan fikiran, sebab merekalah menurutnya yang akan tampil sebagai kaum muda pelopor kemajuan.

Dua jenis bangsawan tersebut paralel dengan istilah priyayi birokrat dan priyayi profesional yang dipakai oleh Savitri P. Scherer dalam bukunya tentang kiprah priyayi nasionalis. Dalam hal pendidikan dan bidang kerja, kedua jenis priyayi ini dapat pula dibedakan. Priyayi birokrat lebih memilih sekolah calon ambtenar agar kemudian menjadi pejabat pemerintahan yang posisi tertingginya adalah bupati. Sedangkan mereka yang kemudian menjadi priyayi profesional menempuh pendidikan ilmu kedokteran, keguruan, teknik, pertanian, ataupun hukum; hingga menjadikan mereka sebagai pekerja yang dekat dengan masyarakat. Sejarah mencatat, oleh kalangan profesional inilah pergerakan nasional Indonesia digulirkan. Seperti Sutomo, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, Sam Ratulangi, Sjahrir, dan Hatta.

Ada satu nama yang jarang disebut, yakni Suryopranoto. Ia “kalah” tenar dibanding sang adik, Suwardi Suryaningrat yang sempat bikin heboh karena artikelnya Als ik eens Nederlander was. Barangkali, Suryopranoto kurang dikenal karena sedikitnya catatan sejarah resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah tentang pergerakan buruh. Dalam pergerakan inilah Suryopranoto memperjuangkan hak-hak kaum kromo, sehingga kemudian memperoleh julukan Si Raja Mogok.

***

Anak Bangsawan Bertukar Jalan, adalah biografi yang ditulis dalam rambu-rambu akademis oleh Budiawan. Salah satu bukti keseriusan riset dokumentasi untuk penulisan buku ini ialah penggunaan sumber-sumber primer berupa surat kabar-surat kabar dan majalah terbitan 1909 s.d 1926 yang tentu butuh ketekunan ekstra untuk memilah dan membacanya. Buku ini merekam jejak-jejak pengalaman dan internalisasi nilai-nilai yang menjadikan Suryopranoto sebagai tokoh pergerakan buruh. Di dalamnya, termuat pula kutipan penuh sekaligus analisis isi “perang pena” antara Suryopranoto dengan Semaun (hal. 121-136); sebagai potret pertentangan prinsip perlawanan terhadap imperialisme pada masa tersebut. Menurut Budiawan, perselisihan antara Suryopranoto dan Semaun adalah sekuel dari konflik antarpaham yang kemudian memecah Sarekat Islam menjadi Kubu SI Putih dan SI Merah.

Suryopranoto memperoleh julukan Si Raja Mogok karena ia adalah pemimpin sebuah serikat buruh bernama Personeel Fabrieks Bond (PFB), serikat bagi para buruh perusahaan perkebunan tebu dan pabrik gula. PFB sangat diperhitungkan karena serikat buruh ini terdiri dari 190 cabang dengan 31 ribu orang anggota (hal. 104), yang menurut catatan Takashi Shiraishi hal ini menjadikan PFB sebagai serikat buruh yang paling besar dan militan di Hindia Belanda. Perlu diingat, pada masa itu gula tebu merupakan komoditas ekspor utama kolonial Belanda. Organisasi buruh inilah yang menjadi motor propaganda gelombang pemogokan buruh pabrik gula.

***

Figur Suryopranoto merupakan fenomena unik. Secara genealogis, Suryopranoto adalah bangsawan kelas atas. Ayahnya adalah putra sulung Paku Alam III, yang berarti Suryopranoto adalah anak laki-laki pertama dari seorang putera mahkota. Namun, hak naik tahta sang ayah menjadi batal karena ia terserang penyakit mata yang mengakibatkan kebutaan. Dengan atribut keningratan tersebut Suryopranoto justru terjun ke tengah-tengah medan pergerakan kaum proletar, lantas menanggalkan gelar kebangsawanannya. Dalam sebuah rapat umum PFB, Suryopranoto diceritakan pernah mengacung-acungkan papan nama bertuliskan “R.M.” dan berkata, “Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil ini, saya tidak butuh.” Karena keunikan itulah Budiawan menahbiskan Suryopranoto sebagai anak bangsawan yang bertukar jalan.

5 komentar:

rahmanizer mengatakan...

Wah luar biasa blognya mas Subhan ini. Bisa jadi referensi bagi yang ingin meneliti tokoh-tokoh (hanya tokoh indonesia ato akan berkembang tokoh luar negeri juga nih?). Saya punya usul nih mas... karena mas seorang pustakawan, perlu juga dikupas tokoh-tokoh perpustakaan. Kayaknya asyik juga tuh. Lagian kan juga langka kan yang ngupas kayak gituan. Saya kira ini akan membuat blog mas Subhan lebih mempesona. Tetap semangat!!!

Subhan mengatakan...

Halo Mas Rahman :-)

Isi blog saya masih seiprit nih, blom lah layak dibilang luar biasa,
semoga saya punya cukup stamina untuk terus menulis, seperti orang yang sabar berhemat dan menabung.

Sementara ini saya masih fokus menulis profil para founding fathers kita, khususnya mereka-mereka yang terlupakan. Semoga nanti bisa berkembang membahas tokoh-tokoh perpustakaan...tapi kayaknya sulit yah nyari tokoh perpustakaan Indonesia :-)

Nazrina mengatakan...

Dan aku baru tau juga nih profil tokoh macam Suryapranoto Si Raja Mogok...

Keren ni tulisan ini... ;)

Subhan mengatakan...

Aku juga baru tahu profil Suryopranoto dari buku itu, padahal sangat sering melewati Jl. Suryopranoto yang berada di sebelah Pura Pakualaman Yogyakarta, hehehe... Ternyata dia orang hebat. Hanya sejarahnya seolah-olah tenggelam.

Trims atas apresiasimu, Rina :D

Nazrina mengatakan...

“Siapa butuh titel Raden Mas, boleh ambil ini, saya tidak butuh.”

My fave line... :D